You Guys!
Akhirnya bagian kedua selesai ditulis. [Apa Hebatnya?]
Hehe...
Nah, yang udah nunggu-nunggu kelanjutan bagian pertama silahkan berbahagia!
[Ngarep. Dilempar pake tomat...]
Hehe... selamat membaca aja deh...
Ringkasan Cerita Sebelumnya:
Di hari pertamanya masuk SMA, Junn bertemu dengan seorang gadis berjilbab sebayanya, Riri. Pertemuan yang begitu mendadak dan peristiwa yang menimpanya tepat di hari pertama sekolah membuat Riri merasa nyaman berteman dengan Junn. Saat sampai di depan sekolah, tiba-tiba terdengar bunyi keras...
-----Junn Series #2 – Telat!-----
Suara gerbang digeser.
“Cepat Junn, gerbangnya mau ditutup!” ujar Riri dengan raut wajah cemas. Ia mencoba melangkah lebih cepat walaupun sedang dipapah.
“Udah, jangan dipikirin. Kaki kamu lebih penting, Ri!”
Riri terdiam. Junn ada benarnya. Lututnya terasa berdenyut-denyut, perih sekali. “Kalau gitu kamu masuk duluan deh! Nanti Aku nyusul.”
Junn terbelalak, “Dan kamu dihukum sendirian karena terlambat? Sori deh, Aku nggak sejahat itu, Ri!” Ujarnya tegas. “Kita akan masuk bersama. Dan jangan bilang apa-apa lagi!”
Riri kembali terdiam. Sejumput kagum bertunas di dataran hatinya. Embun sejuk bagaikan memancar membasahi ranting jiwanya yang kering, dari sosok Junn, orang yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Ia sampai tak habis pikir, bagaimana bisa ada orang sebaik Junn.
Dan seperti yang telah mereka duga, gerbang telah ditutup. Segerombolan laki-laki tinggi berpakaian putih abu-abu dengan ikat kepala merah putih, dan kartu tanda pengenal terkalung di leher – Yang sudah pasti senior dari OSIS – berdiri di balik gerbang. Seolah-olah, mereka memang menunggu – Sesuatu semacam makanan, bila mereka sekawanan singa – dan Junn yakin mereka mengincar dirinya dan Riri, murid baru yang terlambat di hari pertama.
Tiga meter menjelang sampai di gerbang, senior-senior itu bertepuk tangan. Beberapa di antaranya bersuit-suit sambil melepas ikat kepalanya dan melambaikannya, seolah Junn dan Riri adalah pembalap yang mencapai garis finish.
“Selamat! Kalian berhasil!” senior yang memakai kacamata berteriak, disambut suit-suit dari teman-temannya.
“Berhasil apa?” Junn bertanya dengan sedikit berteriak, intonasi menantang.
Riri kaget, dengan situasi seperti ini, bisa-bisanya Junn bertingkah seperti itu? “Juunn! Jangan gitu! Nanti mereka marah!” bisiknya.
Dan Riri salah, senior-senior itu malah saling berpandangan dan tertawa. “Bagus, bagus. Sudah terlambat, masih berani menantang?”
Senior yang berambut cepak menyeringai, “Heh, anak baru! Sudah salah masih belagu! Cepat ke sini!”
“Kenapa kau terlambat, hah!? Bukankah peraturannya sudah tercantum di buku panduan MOS?” Senior yang lain membentak.
Junn melepaskan cengkeramannya pada pangkal lengan Riri, “Maaf, senior yang terhormat. Tapi teman saya ini baru saja kecelakaan. Kakinya terluka! Bisa tolong bawa dia ke UKS dulu? Atau kemana saja dimana dia bisa diobati dan beristirahat? Daripada anda semua meributkan masalah sepele?”
Salah satu dari mereka, laki-laki berwajah teduh yang kelihatan paling berkuasa, berbisik. Dan tiga orang di antara mereka segera ke dalam bangunan sekolah. Tak lama mereka keluar, menenteng tandu. Mereka mendekati Junn, dan setelah Ia membaringkan Riri di atas tandu, Junn berbisik, “Baik-baik, Ri.”
Riri mengangguk. Dan tandu itu digotong ke dalam sekolah. Ke UKS mungkin.
“Nah, sekarang apa?” Junn berdiri menghadap gerombolan senior yang tersisa.
Senior yang berambut cepak menyeringai, “Kau harus dihukum, tentu saja. Kau tahu kan, kesalahan yang kau buat? Terlambat di hari pertama. Dan jika kau membaca buku panduan MOS-mu maka kau akan tahu sangsi apa yang harus kau terima: Hormat kepada bendera merah putih satu jam lima belas menit tanpa istirahat!”
Junn sedikit bergidik. Ia sudah membaca buku itu, dan ia juga tahu tentang hukuman itu – yang menurutnya tak punya hubungan dengan sebuah keterlambatan – dan sekarang ia sedikit khawatir harus melaksanakannya, mengingat betapa cerahnya langit. Tapi ia tetap memperlihatkan wajah yang tak gentar, yang paling tidak menumbuhkan sedikit keberanian di dalam dirinya.
“Tidak, tidak…” senior yang berwajah teduh tadi angkat suara. “Menimbang alasan masuk akal yang bisa kita baca dari keterlambatan ini, maka sebagai ketua OSIS aku putuskan kau boleh masuk tanpa hukuman.”
Musim semi. Tidak jadi dihukum? Junn tersenyum dalam hati. Tapi ia belum bisa bernafas lega, sebab senior yang berambut cepak itu kelihatannya masih bernafsu menjatuhinya hukuman.
“Zhaf, Lo nggak bisa gitu dong! Yang bersalah harus dihukum!”
Senior yang dipanggil Zhaf menjawab dengan tenang, “Bisa. Gue ketua OSIS”
Junn tersenyum. Oh, jadi ini yang namanya Zhafif itu. Yang di buku MOS tertulis menjabat sebagai ketua OSIS.
WOW. Seorang ketua OSIS membela murid baru! Wahhh…! Dalam hatinya ia berteriak salut. Tapi dia tetap memperlihatkan wajah seriusnya, agar senior berambut cepak itu tak tahu betapa senangnya ia.
“Tapi, Zhaf! Peraturan tetap peraturan!” Dia masih belum puas.
Zhafif menggeleng lagi, “Dan peraturan tetap punya dispensasi untuk alasan yang masuk akal.”
Senior berambut cepak itu mati kata. Dengan sedikit dengusan kesal ia menjauh, menuju barisan murid baru yang sudah dari tadi bersiap untuk upacara bendera.
“Mau berdiri di sana sampai kapan?” Zhafif menyapa.
“Oh, Ya. Makasih Kak. Saya masuk dulu” Ujar Junn sambil melangkah memasuki gerbang sambil nyengir. Kalau nanti kuceritakan pada Riri, pasti dia tak akan percaya. Junn membatin.
Pagi semakin cerah. Gumpalan putih di birunya langit berarak sangat pelan, membiarkan dirinya dipanggang matahari. Udara mulai terasa hangat, sehangat perasaan Junn saat memasuki barisan upacara.
[BERSAMBUNG]
0 Comments:
Post a Comment